عَنْ عَمْرٍو وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَسُفْيَانَ بْنِ عَبْدِاللهِ
الثَّقَفِي رَضِيَ اللهُ عَنْهَ , قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ , قُلْ
لِيْ فِيْ اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً , لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًاغَيْرَكَ.
قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ , ثُمَّ اسْتَقِمْ . رواه مسلم
Dari Abu ‘Amr, dan ada yang mengatakan dari Abu ‘Amrah Sufyân bin
‘Abdillâh ats-Tsaqafi Radhiyallahu anhu, yang berkata : “Aku berkata,
‘Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang
tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.’ Beliau menjawab,
‘Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian
istiqâmahlah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 38), Ahmad (III/413; IV/384-385), at-Tirmidzi (no. 2410), an-Nasâ-i dalam as-Sunanul Kubra (no. 11425, 11426, 11776), Ibnu Mâjah (no. 3972), ad-Dârimi (II/298), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 6396, 6397, 6398), ath-Thayâlisi (no. 1327), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 21-22), Ibnu Abid Dun-ya dalam ash-Shamt (no. 7), al-Hâkim (IV/313), Ibnu Hibbân (no. 938, 5668, 5669, 5670, 5672-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 4572, 4574, 4575), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 16).
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 38), Ahmad (III/413; IV/384-385), at-Tirmidzi (no. 2410), an-Nasâ-i dalam as-Sunanul Kubra (no. 11425, 11426, 11776), Ibnu Mâjah (no. 3972), ad-Dârimi (II/298), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 6396, 6397, 6398), ath-Thayâlisi (no. 1327), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 21-22), Ibnu Abid Dun-ya dalam ash-Shamt (no. 7), al-Hâkim (IV/313), Ibnu Hibbân (no. 938, 5668, 5669, 5670, 5672-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 4572, 4574, 4575), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 16).
Pada riwayat Imam Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâi, dan Ibnu Mâjah ada tambahan:
قُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, مَاتَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَرْفِ لِسَانِ نَفْسِهِ , ثُمَّ
قَالَ: هَذَا
Aku berkata : “Ya Rasulullah! Apakah sesuatu yang paling engkau
khawatirkan padaku?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memegang ujung lidahnya sendiri kemudian berkata, “Ini”
Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”
Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahîh.”
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini adalah hadits yang singkat, padat dan indah yang merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Walaupun singkat, namun telah memberikan jawaban tentang pokok-pokok Islam yang ditanyakan oleh si penanya dalam dua kata, yaitu iman dan istiqâmah menurut manhaj yang benar. [1]
Hadits ini adalah hadits yang singkat, padat dan indah yang merupakan kekhususan bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Walaupun singkat, namun telah memberikan jawaban tentang pokok-pokok Islam yang ditanyakan oleh si penanya dalam dua kata, yaitu iman dan istiqâmah menurut manhaj yang benar. [1]
Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah tauhid dan taat.
Tauhid terkandung dalam kata “Amantu billâh (aku beriman kepada Allah
Azza wa Jalla)” dan taat terkandung dalam kata “Istiqâmah” karena arti
istiqâmah adalah mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang
dilarang, termasuk yang berkait dengan amalan hati dan badan yaitu iman,
Islam, dan ihsan. Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
…
“…Karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya…” [Fushshilat/41:6][2]
…
“…Karena itu tetaplah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya…” [Fushshilat/41:6][2]
Dalam ayat di atas terdapat isyarat bahwa pasti ada kelalaian
(kekurangan) dalam istiqâmah yang diperintahkan; kemudian dilakukan
istighfâr (mohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla) yang menghasilkan
taubat dan kembali kepada istiqâmah.[3]
SYARAH HADITS
Perkataan shahabat Radhiyallahu anhu, “Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.” Maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku suatu perkataan tentang pengertian Islam yang jelas bagi diriku sehingga aku tidak perlu lagi menanyakan tafsirnya kepada orang lain dan aku akan mengerjakannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.”[4]
Perkataan shahabat Radhiyallahu anhu, “Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan kepada orang selain engkau.” Maksudnya adalah ajarkanlah kepadaku suatu perkataan tentang pengertian Islam yang jelas bagi diriku sehingga aku tidak perlu lagi menanyakan tafsirnya kepada orang lain dan aku akan mengerjakannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.”[4]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Katakanlah,” maksudnya,
ucapkanlah dengan lisanmu serta iringi dengan pembenaran hatimu ”Aku
beriman kepada Allah Azza wa Jalla,” bahwa Dialah Allah Azza wa Jalla,
Ilâh Yang Maha Esa yang wajib diibadahi oleh semua makhluk, yang
disifati dengan sifat-sifat yang sempurna Yang Mahatinggi, dan wajib
disucikan dari sifat-sifat yang jelek. Apa saja yang dijadikan-Nya benar
maka itulah yang benar dan apa saja yang dijadikan-Nya batil maka itu
batil. ”Kemudian Istiqâmahlah,” yaitu istiqâmahlah (konsistenlah-red) di
atas konsekuensi perkataan tersebut; berupa mencintai Allah Azza wa
Jalla yang mendatangkan keridhaan dan kecintaan-Nya serta menjauhkan
diri dari kemurkaan-Nya dengan meninggalkan semua yang menyebabkan
kemarahan-Nya.[5]
1. Pengertian Istiqâmah
Menurut bahasa, istiqâmah artinya adalah al-i’tidâl (lurus). Dikatakan aqâmasy syai-a was taqâma artinya lurus dan mapan.
Menurut bahasa, istiqâmah artinya adalah al-i’tidâl (lurus). Dikatakan aqâmasy syai-a was taqâma artinya lurus dan mapan.
Sedang menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu
agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri.
Istiqâmah mencakup melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun
yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang dilarang.[6]
Banyak perkataan para Shahabat, Tabi’in, dan yang lainnya dalam
mendefinisikan istiqâmah. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Qatâdah
rahimahullah berkata, “Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan
hal-hal yang diwajibkan.” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menafsirkan firman
Allah Azza wa Jalla, ثُمَّ اسْتَقَامُوْا “Kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka,” (Fushshilat/41:30) dengan mengatakan,
”Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah Azza wa
Jalladengan sesuatu pun.”[7]
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, mereka mentauhidkan
Allah Azza wa Jalla dan beriman kepada-Nya kemudian berlaku lurus,
tidak menyimpang dari tauhid, dan selalu iltizâm (konsekuen dan
konsisten) dalam melakukan ketaatan kepada-Nya sampai mereka
meninggal.”[8]
Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqâmah adalah sebuah
derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai
kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barangsiapa yang tidak istiqâmah
dalam kepribadiannya maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan,
”Istiqâmah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang
besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan
adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan
jujur.”[9]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Para ulama menafsirkan
istiqâmah dengan ” لُزُوْمُ طَاعَةِ اللهِِ ” artinya tetap konsekuen dan
konsisten dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.”[10]
2. Keutamaan Istiqâmah
Istiqâmah mempermudah rizki dan melapangkan kehidupan di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,
Istiqâmah mempermudah rizki dan melapangkan kehidupan di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.”
[al-Jinn/72:16]
Imam al-Qurhubi rahimahullah berkata, “Maksudnya, seandainya
orang-orang kafir itu beriman, niscaya Kami berikan mereka keleluasan di
dunia dan Kami lapangkan rezeki mereka.”[11]
Firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا
تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا
وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,”
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan
turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh)
surga yang telah dijanjikan kepadamu.” [Fushshilat/41:30]
Maksudnya, mereka beriman kepada Allah Azza wa JallaYang Maha Esa,
kemudian istiqâmah di atasnya dan di atas ketaatan sampai Allah Azza wa
Jalla mewafatkan mereka.[12]
Tentang ayat di atas, al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata,
”Mereka mengikhlaskan amal semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dan
melaksanakan ketaatan sesuai dengan syari’at Allah Azza wa Jalla.”[13]
Ayat ini menunjukkan bahwa para malaikat akan turun menuju
orang-orang yang istiqâmah ketika kematian menjemputnya, ketika dalam
kubur dan ketika dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa aman
dari ketakutan ketika kematian menjemput dan menghilangkan rasa sedih
akibat berpisah dengan anaknya karena Allah Azza wa Jalla adalah
pengganti dari hal itu. Juga memberikan kabar gembira berupa ampunan
dosa dan kesalahan serta amalnya diterima. Juga kabar gembira tentang
Surga yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga, dan
belum pernah terlintas dalam hati manusia.[14]
3. Istiqâmah Adalah Meniti ash-shirâthal Mustaqîm
Istiqâmah adalah meniti ash-shirâthal mustaqîm, yaitu agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah mencakup pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama.[15] Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini adalah agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan selain Islam yaitu pendapat para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa disebut agama dan tidak pula sebagai hujjah.[16]
Istiqâmah adalah meniti ash-shirâthal mustaqîm, yaitu agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah mencakup pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Jadi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama.[15] Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini adalah agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan selain Islam yaitu pendapat para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa disebut agama dan tidak pula sebagai hujjah.[16]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana
telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu,
dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan.” [Hûd/11:112]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Allah Azza wa Jalla
memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman agar teguh dan
selalu istiqâmah karena itu merupakan sebab untuk mendapatkan
pertolongan yang besar dalam mengalahkan musuh dan dapat menghindari
bentrokan serta dapat terhindar dari perbuatan melampaui batas. Karena
melampaui batas -meskipun terhadap orang musyrik- merupakan kehancuran.
Dan Allah Azza wa Jalla memberi tahu bahwa Dia Maha Melihat perbuatan
hamba-hamba-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lalai dan tidak ada
sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.”[17]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak ada ayat yang
diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
al-Qur`an yang lebih berat dan sulit bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam daripada ayat ini.”[18]
Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbâs Radhiyallahu anhu, ia berkata, ”Abu
Bakar Radhiyallahu anhu berkata, ’Wahai Rasulullah! Engkau telah
beruban.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ ، وَالْوَاقِعَةُ ، وَالْـمُرْسَلاَتُ ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ ، وَإِذَا الشَّمْسُ
‘Aku telah dibuat beruban oleh (surat) Hûd, al-Wâqi’ah, al-Mursalât, ‘Amma yatasâ-alûn, dan Idzasy Syamsu kuwwirat” [19]
4. Istiqâmah Hati
Hati adalah bagian tubuh yang paling penting. Seorang hamba hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya tetap istiqâmah. Karena hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuhnya. Jika hati istiqâmah, maka seluruh anggota tubuhnya pun ikut istiqâmah.
Hati adalah bagian tubuh yang paling penting. Seorang hamba hendaknya berusaha dengan sungguh-sungguh agar hatinya tetap istiqâmah. Karena hati adalah raja bagi seluruh anggota tubuhnya. Jika hati istiqâmah, maka seluruh anggota tubuhnya pun ikut istiqâmah.
Dasar dari istiqâmah adalah keistiqâmah-an hati di atas tauhid
seperti penafsiran Abu Bakar ash-shiddîq dan lain-lain tentang firman
Allah Azza wa Jalla, إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ
اسْتَقَامُوا “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah
Allah Azza wa Jalla,” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka…(al-Ahqâf/46:13) bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak
berbuat syirik kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak menoleh kepada tuhan
selain Allah Azza wa Jalla[20]. Jadi, jika hati telah istiqâmah di atas
ma’rifatullâh, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya,
mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap kepada-Nya, berdoa kepada-Nya,
bertawakkal kepada-Nya dan berpaling dari selain Dia, maka sungguh,
seluruh anggota badan akan istiqâmah dengan taat kepada-Nya. Karena hati
adalah raja bagi organ tubuh (lainnya) yang merupakan pasukan hati.
Jika raja sudah istiqâmah, maka pasukan dan rakyatnya akan istiqâmah
pula[21].
5. Istiqâmah Lisan
Anggota tubuh yang terpenting yang perlu mendapatkan perhatian setelah hati adalah lisan. Karena lisan adalah media yang mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Terkadang keluar ucapan yang dianggap sepele namun dapat membuat pengucapnya binasa di dunia dan akhirat.
Anggota tubuh yang terpenting yang perlu mendapatkan perhatian setelah hati adalah lisan. Karena lisan adalah media yang mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Terkadang keluar ucapan yang dianggap sepele namun dapat membuat pengucapnya binasa di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu
bertanya, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung lidah beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa lisan sangat
berbahaya, sebab seseorang dapat istiqâmah apabila lisannya istiqâmah
dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa
dan murka Allah k. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, dia
memarfu’kannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأََعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ
اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ : اِتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَـا نَحْنُ بِكَ،
فَإِنِ اسْتَقَمْتَ ؛ اِسْتَقَمْنَا ، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ ؛ اِعْوَجَجْنَا
“Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh organ tubuh
tunduk kepada lidah dengan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah Azza wa
Jallapada kami, karena kami bersamamu. Jika engkau istiqâmah, kami juga
istiqâmah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang.”[22]
Dan kebanyakan yang menyeret manusia ke neraka adalah lisan. Banyak
nash yang berisi ancaman bagi yang membiarkan lisannya begitu saja tanpa
kendali.
إِنَّ الْعَبْدَ لَـيَـتَـكَـلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَـتَـبَـيَّـنُ
مَا فِـيْهَا يَـهْوِيْ بِـهَا فِـى النَّـارِ أَبْـعَدَ مَا بَيْـنَ
الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak jelas,
maka akan menjerumuskannya ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang
ada di antara timur dan barat.”[23]
Demikian pula banyak nash yang mendorong agar menjaga lisan dan meluruskannya sesuai dengan perintah Allah. Di antaranya:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” [Qâf/50:18]
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa semua ucapan manusia akan
dihisab. Ada Malaikat yang selalu mengawasi semua perkataan manusia dan
selalu menulisnya, baik yang baik maupun yang buruk.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَازَعِيْمٌ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَوَإِنْ
كَانَ مُحِقًّا , وَأَناَزَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ
تَرَكَ الْكَذِبَ وَ إِنْ كَانَ مَا زِحًا , وَأَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ
فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di taman-taman Surga
bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia yang benar; aku
menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tengah Surga bagi orang
yang meninggalkan dusta meskipun ia hanya bercanda; dan aku menjamin
dengan sebuah istana di Surga yang tertinggi bagi orang yang membaguskan
akhlaknya.”[24]
5. Kiat Menggapai Istiqâmah
Di antara kiat yang dapat mengantarkan kepada istiqâmah dalam berbagai kondisi, perkataan, dan perbuatan ialah:
1. Taubat nasûha.
2. Murâqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika tidak terlihat orang lain maupun saat terlihat.
3. Muhâsabah, yaitu menginstrospeksi segala amal perbuatan yang telah dikerjakan.
4. Mujâhadah, yaitu berjuang sungguh-sungguh menggembleng jiwa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla
Di antara kiat yang dapat mengantarkan kepada istiqâmah dalam berbagai kondisi, perkataan, dan perbuatan ialah:
1. Taubat nasûha.
2. Murâqabatullâh, yaitu selalu merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla, baik ketika tidak terlihat orang lain maupun saat terlihat.
3. Muhâsabah, yaitu menginstrospeksi segala amal perbuatan yang telah dikerjakan.
4. Mujâhadah, yaitu berjuang sungguh-sungguh menggembleng jiwa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla
0 komentar:
Posting Komentar